Langsung ke konten utama

TAK ADA DO’A YANG TAK KEMBALI

 

TAK ADA DO’A YANG TAK KEMBALI

Oleh: Juwita Nur Jasiyah


Ternyata, tidak semua orang memiliki mimpi. Bermimpi kadang terlihat mudah namun ternyata sulit. Dulu, aku sempat menjadi pemimpi ulung. Aku ceritakan pada orang-orang terdekatku bahwa aku ingin menjadi seorang womenpreneur.


Suatu hari, aku pernah bercerita dengan bangga pada sahabatku:

"Aku ingin jadi pengusaha wanita sukses, mandiri, tangguh, dan rajin berbagi seperti bu Haji"


Ibu haji adalah tetanggaku yang sangat dermawan. Setiap bulan selalu mengadakan pengajian. Aku ingat betul saat kecil dulu aku selalu senang jika Ibu pulang pengajian dari rumah Bu haji. Itu adalah waktunya aku mencoba makanan-makanan lezat. Daging empuk dengan kerupuk. Ada buah-buahan juga. Kalau tidak pisang ya jeruk. Hmm. Nikmat sekali.


Aku selalu bermimpi untuk bisa berbagi seperti Bu haji. Namun, aku rasa semua mimpi-mimpiku itu pergi bersamaan dengan kepergian Ayah. Tiga tahun lalu, Ayah pergi meninggalkan kami. Aku, adikku, dan Ibu yang dulu hanya menggantungkan penghasilan dari Ayah semata merasa tidak tahu lagi bagaimana caranya melanjutkan hidup.


Pagi itu, semua berjalan seperti biasa. Semua terasa sempurna walaupun kami tidak punya apa-apa. Walau begitu, keluarga kecil kami punya sosok Ayah yang mengayomi, Ibu yang mengasihi dan melindungi. Aku juga punya adik yang sedang lucu-lucunya senang berlari kesana kemari.


Sekitar pukul setengah enam pagi, tiba-tiba Pak Dani mengetuk pintu rumahku. Pak Dani adalah tetanggaku yang baik sekali. Beliau sering main ke rumah kami, tapi biasanya tidak sepagi ini. Beliau mengabarkan bahwa kami sekeluarga harus segera ke masjid.


Ayahku memang rajin ke masjid. Setiap hari Ayah Beres-beres masjid, adzan, dan mengajar ngaji anak-anak. Itulah mengapa banyak tetangga kami yang baik pada keluarga kami. Aku banyak berguru dari Ayah. Walaupun Ayah tidak bisa berbagi materi seperti Ibu Haji, tapi Ayah tetap selalu menebarkan kebaikan dan berbagi manfaat.


Aku, ibu dan adikku segera bergegas. Bahkan saking terburu-burunya, kami tidak menyadari bahwa sandal adik terbalik. Kami baru sadar setelah adikku lama sekali jalannya dan terasa ada yang aneh. Ternyata sandalnya terbalik. Sesampainya di masjid, betapa terkejutnya kami melihat seseorang terbujur di atas karpet masjid. Beberapa orang terlihat menatap nanar. Ada yang kasihan, ada juga yang terlihat sedih kehilangan.


Seketika badanku terasa berdesir, jantungku berdegup semakin kencang, berusaha meyakinkan diri bahwa dugaanku itu salah. Aku berusaha mengatakan pada diriku sendiri bahwa itu bukan Ayah, atau kalaupun itu Ayah itu pasti hanya pingsan dan akan bangun lagi


Tidak lama ibuku berteriak "Ayaaaah” kemudian mendekat pada sosok yang terbujur kaku tadi. Pak Dani yang tadi mengajak kami ke masjid kemudian perlahan mengusap kepala ku dan adiku seraya mengatakan:

"yang sabar ya nak, Ayah kalian orang baik, insyaAllah Ayah akan berada di tempat terbaik di sisi Allah dan pergi dalam keadaan husnul khatimah".


Adikku tak lama berteriak sambil menangis dan memeluk Ibu. Aku belum mau mendekat karena aku masih tidak percaya. Bagaikan petir di siang bolong. Kenyataan ini terasa pahit. Baru saja aku benar-benar merasa bersyukur karena hidup terasa sempurna walaupun tak berkelebihan.


Setelah pengurusan jenazah, aku banyak melamun. Aku merasa semua terasa runtuh hanya dalam satu waktu. Aku selalu memikirkan Ibu dan Adikku. Bagaimana kehidupan kami setelah ini? Saat Ayah pergi, aku kelas 3 SMA dan sudah melewati ujian nasional.


Suatu hari, sepulang dari sekolah ingin rasanya aku menunjukkan sepucuk surat pada Ayah. Jika Ayah ada, Ayah pasti senang. Tapi sayangnya Ayah sudah tidak lagi bersama. Aku ragu untuk menyampaikannya kepada Ibu karena aku tak tahu ini kabar baik atau sebaliknya untuk ibu. 3 hari lamanya aku simpan surat itu sendiri. Tapi aku rasa ibu harus tahu. Akhirnya aku serahkan surat itu. Surat yang menunjukkan bahwa aku diterima di sebuah universitas negeri ternama di kota pendidikan Yogyakarta.


Lokasi kuliah dengan rumahku saat ini lumayan jauh. Aku tinggal di Bandung. Jarak Bandung ke Yogya sekitar 563 km. Membayangkan biaya yang harus dipenuhi untuk kuliah saja rasanya sudah berat, apalagi ditambah harus kos. Ibuku saat ini sedang sakit, tapi Ia tidak dirawat di rumah sakit karena kendala biaya. Adikku masih kecil. Siapa yang akan membiayai hidup kami jika aku egois untuk tetap berangkat kuliah?


Setelah perenungan panjang, ku urungkan niatku untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini ku lakukan demi ibu dan adik yang kini jadi tanggunganku. Aku tetap menyampaikan surat pengumuman itu, namun aku katakan bahwa aku tidak berniat melanjutkan walaupun sebenarnya hati kecilku mengatakan bahwa aku ingin.


Aku segera mencari pekerjaan. Bekerja sebagai tenaga penjual menjadi pilihan. Awalnya aku menjual susu bayi, lalu aku dipindahkan ke bagian pakaian wanita. Tidak lama, aku dipindahkan untuk menjual produk kecantikan.


Awal menjual produk kecantikan memang butuh perjuangan. Susah payah aku meyakinkan konsumen bahwa produk yang kubawa itu bagus. Namun, orang-orang tidak mau berganti brand. Ada brand lokal yang sedang hits saat itu. Orang-orang merasa tidak keren jika tidak menggunakan brand tersebut. Ditolak sana-sini sudah menjadi makanan sehari-hari.


Aku bertekad pada diriku sendiri untuk terus berusaha. Saat aku ingin mengeluh, aku akan selalu mengingat wajah Ibu dan adik yang sedang menantiku pulang. Tiga tahun lamanya aku jalani kehidupan seperti ini. Berangkat kerja lalu pulang dalam keadaan lelah karena seharian menggunakan sepatu tinggi dan harus tersenyum ceria seberat apapun masalah yang sedang kuhadapi.

Asalkan ibu dan adikku bisa makan, aku sangat bahagia. Aku tidak seperti teman-teman lain yang setiap gajian akan jalan-jalan, nonton bioskop, atau makan di tempat yang mewah. Gaji yang aku dapatkan pas sekali untuk hidup kami bertiga apalagi kami masih harus mengontrak sampai hari ini.

Hari libur biasanya aku gunakan untuk bermuhasabah diri. Merenung dan banyak berkomunikasi dengan Allah sebagai Tuhanku lewat shalat, mengaji, shalawat, dan dzikir seperti yang sering Ayah ajarkan. Saat sedang merenung seperti itu tiba-tiba aku melihat sebuah iklan yang muncul di layar hp ku.


Tertulis besar dalam layar handphone “OPEN RESELLER”. Reseller? Batinku. Aku pernah dengar sedikit-sedikit tentang konsep reseller. Intinya kita menjual produk orang lain, tapi berbeda dengan pekerjaanku sekarang. Saat ini, aku juga menjual produk orang lain tapi aku sudah pasti akan mendapatkan gaji setiap bulannya. Sedangkan reseller mendapatkan uang sesuai dengan perjuangannya. Kalau berjuang lebih keras pasti dapat lebih banyak, begitupun sebaliknya. Yang membahagiakan dari program reseller ini adalah aku tidak perlu memiliki modal besar, tidak perlu meminjam uang ke tetangga apalagi bank untuk memulai usaha.


Setelah melihat iklan, pandanganku kemudian tertuju pada sebuah gambar yang menempel di dinding kamar. Gambar seorang wanita di depan sebuah toko. Wanita itu tersenyum manis menatap dengan percaya diri. Aku sengaja menggambarnya untuk terus mengingatkan diriku tentang mimpiku menjadi seorang womanpreneur.


Aku memiliki beberapa pertimbangan mengapa aku tidak berusaha mengejar impian sejak awal keluar sekolah. Pertama, aku tidak punya modal, jika aku hanya menghidupi diriku sendiri tidak apa-apa jika gagal. Namun masalahnya ada orang-orang yang menjadi tanggunganku, Bagaimana jika aku sudah meminjam modal besar lalu usahaku gagal, mau makan dan tinggal dimana adik dan ibuku?. Kedua, aku masih belum tahu apa yang akan aku jual dan aku tidak punya pembimbing untuk itu.


Setelah ku gunakan hari liburku untuk bermuhasabah ditambah shalat tahajud di beberapa malam belakangan ini, akhirnya aku bulatkan tekadku untuk mengikuti PBP (Paragon Beauty Partner). PBP adalah program reseller dari PT Paragon Technology and Innovation. Produk yang dijual adalah produk kecantikan.


Aku belum berani untuk resign dari pekerjaanku. Aku masih belum berani mengambil resiko untuk mengorbankan hidup ibu dan adikku. Aku berusaha sekuat yang aku bisa. Sekuat keinginanku untuk bisa kuliah lagi. Walaupun pada saat masuk kuliah mungkin usiaku akan jauh dari teman-temanku tapi aku tidak peduli. Aku ingin kehidupanku menjadi jauh lebih baik. Tidak semua jalannya lewat jalur pendidikan seperti keinginanku tapi aku percaya bahwa orang yang berpendidikan memiliki kesempatan yang jauh lebih luas.


Selama 3 bulan aku berjuang menjadi reseller, ternyata hasilnya diluar dugaanku. Penghasilanku jauh lebih besar dari gajiku saat ini. Setelah aku renungkan kembali, akhirnya aku putuskan untuk resign dan fokus dengan program resellerku.


Dengan bimbingan dari coach semua berbuah hasil. Hanya dengan waktu 5 bulan saja aku sudah bisa membuka toko online dan offline sendiri. Dari penghasilan baruku, aku juga bisa berkuliah dan menyicil rumah untuk Ibu dan Adikku.

Waktu yang kugunakan untuk bekerja lebih fleksibel karena aku dibantu beberapa partner. Aku tidak mau menyebut orang-orang yang bekerja bersamaku sebagai pekerja. Aku sebut mereka sebagai partner, karena aku ingin mereka juga berkembang dan bisa meraih mimpinya, sama seperti yang aku lakukan sebelumnya.


Aku sangat bersyukur karena ternyata Allah selalu punya jalan yang tidak terduga untuk membuat hambanya bahagia. Program reseller ini jalan yang Allah beri untukku. Mungkin ini adalah jawaban dari do’a-do’aku di sepertiga malam. Aku ingat seseorang pernah berkata bahwa tidak mungkin ada do’a yang tidak kembali. Hanya waktunya saja yang akan disiapkan se-tepat mungkin. Karena Allah baik sudah memberikan jalan, siapa tau ini juga jalanmu, jadi tidak ada salahnya mencoba bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A.Md (Aku Mau Do'a)

A.Md (Aku Mau Do’a) Yaap sama seperti judulnya. Aku hanya mau do’a. Do’a dari orang-orang terkasih, dan aku pun berdo’a yang terbaik untuk orang-orang di sekitarku agar mereka selalu mendapat perlindungan Allah dimanapun mereka berada. Apakah kamu salah satunya? Aku rasa Iya.. dimanapun kamu berada sekarang, disamping siapapun kamu hari ini, aku selalu berdo’a agar kamu dan orang disekitarmu selalu dimudahkan segala urusannya termasuk puasanya. Do’a… ya do’a orang tua merupakan resep ampuh kelancaran dari segala yang terjadi di kehidupan kita kemarin, hari ini, maupun esok. Tanpa do’a restunya hidupmu akan terasa hampa. Kesuksesan yang kamu raih rasanya tak ada gunanya. Kali ini aku mau bercerita tentang betapa berartinya do’a orang tua terhadap kelancaran masa kuliahku kemarin. Tanpa do’anya mustahil aku bisa lulus. Tanpa do’anya mustahil aku bisa mengenakan toga itu. Berfoto dengan seorang kawan hebat yang tak akan pernah aku lupa. Pada hari toga ini dik

MEMORI TAK BERKISAH

MEMORI TAK BERKISAH Oleh: Juwita Nur Jasiyah   Tak usah diingat, cukuplah jadi Memori tak berkisah. . . Kalau ujungnya hanya luka, mengapa harus bicara? Jika akhirnya pergi, mengapa pernah kau biarkan aku menanti? Memori tak berkisah hanya jadi kenangan tak bertepi Berujung pahit. Terasa sedih Rasa sesak yang tak bisa terluapkan hanya berakhir dengan linangan air mata Untuk pertama kalinya, aku gunakan rasa Tapi apadaya, takdir tak berkata hal yang sama Aku ikhlas.. Tugasku sekarang, melupakan sekuat-kuatnya tentang kamu yang berlari menjauh sekencang-kencangnya. Tuhan.. Terimakasih telah memberi pelangi Saat hujan melanda, pelangi hadir setelahnya Tapi.. namanya juga pelangi Tak ada yang abadi Sekejap hadir lalu kemudian pergi Tak mengapa.. Setidaknya aku pernah kagum dan bersyukur ternyata Allah ciptakan pelangi tuk menghapus hujan walau kini telah pergi, tapi pelangi pernah memberi warna di hati

TURUNNYA SI BADAN BESI

  TURUNNYA SI BADAN BESI Masya Allah Tabarakallah, (baca sambil bayangkan) Deru mesin bagiku kini terdengar seperti alunan musik yang warnai pemandanagan. Putih, Abu, dan Biru di sebelah kiri. Kulihat gulungan kapas. Kadang berbentuk kadang tidak, tergantung imajinasiku. Makin lama langit mulai menggelap. Pengumuman landing sudah mulai digaungkan. Informasi bahwa sebentar lagi akan mendarat terdengar jelas. Lampu mulai dipadamkan. . Semburat langit jingga di sebelah kanan perlahan menghilang. Semua orang berada di bangku masing-masing. Ada yang masih berbincang dengan asyik, ada yang makan tapi berisik, adapula yang tidur dengan cantik. . Sayap mengembang, terlihat semakin gagah. Lampu-lampu gemerlap mulai nampak. Si badan besi mulai memiringkan badannya. Makin lama lampu-lampu itu makin mendekat. Oh, ternyata bukan lampu yang mendekat, melainkan kita. MasyaAllah. Pemandangan ini sungguh menakjubkan. Perlahan mulai turun. Terkadang membuat jantung seperti tak seirama dengan